Senin, 04 Oktober 2010

Meraih Haji Mabrur




Haji mabrur adalah dambaan dan cita-cita setiap muslim yang melaksanakan haji. Tetapi pertanyaannya apa itu haji mabrur? Banyak orang menafsirkan bahwa haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan kejadian-kejadian aneh dan luar biasa saat menjalani ibadah tersebut di tanah suci. Kejadian ini lalu direkam sebagai pengalaman ruhani, yang paling berkesan.

Bahkan kadang ketika ia sering menangis dan terharu dalam berbagai kesempatan itu juga dianggapnya sebagai tanda dari haji mabrur. Imam Al Ashfahani menyebutkan haji mabrur artinya haji yang diterima (maqbul) (lihat mufradat alfadzil Qur’an, h. 114).
Tapi apa tanda-tandanya?
Mabrur diambil dari kata al birru (kebaikan). Dalam sebuah ayat Allah swt berfirman: “lantanalul birra hatta tunfiquu mimma tuhibbun. Kamu tidak akan mendapatkan kebajikan sehingga kamu menginfakkan sebagian apa yang kamu cintai”. QS.3:92. Ketika digandeng dengan kata haji maka ia menjadi sifat yang mengandung arti bahwa haji tersebut diikuti dengan kebajikan.
Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari masa sebelumnya. Al Qur’an juga menggunakan kata al birru untuk pengabdian yang terus menerus kepada orang tua wabarraan biwalidati. QS. 19:32. Orang-orang yang selalu mentaati Allah swt dan menjauhi segala yang dilarang disebut al abraar, kelak mereka dihari kiamat akan ditempatkan di surga. “Innal abraara lafii na’iem”. QS.82:13. Bila digabung antara ayat ini dengan hadits Rasulullah: “Al hajjul mabrrur laisa lahuu jazaa illal jannah.” HR Bukhari, nampak titik temu yang saling melengkapi, bahwa haji mabrur akan selalui ditandai dengan perubahan dalam diri pelakunya dengan mengalirnya amal saleh yang tiada putus-putusnya. Bila setelah berhaji seseorang selalu berbuat baik, sampai ia menghadap Allah swt, maka jelas ia akan tergolong kelompok al abraar dan pahala yang akan kelak ia dapatkan adalah surga.
Beradasarkan pembahasan di atas bahwa untuk mencapai haji mabrur ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
Pertama, niat yang ikhlas karena Allah swt, bukan karena ingin dipuji orang dan berbangga-bangga dengan gelar haji. Seorang yang tidak ikhlas dalam beramal apapun termasuk haji, Allah swt akan menolak amal tersebut sekalipun di mata manusia ia nampak begitu agung dan mulia.
Kedua, bekalnya harus halal. Haji yang dibekali dengan harta haram pasti Allah swt tolak. Rasulullah saw bersabda: “Sesunguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Di akhir hadits ini Rasulullah menggambarkan seorang musafir sedang berdo’a tetapi pakaiannya dan makanannya haram, maka Allah tidak akan menerima doa tersebut.” HR. Muslim. Demikian juga ibadah haji yang dibekali dengan harta haram.
Ketiga, Dari niat yang ikhlas dan bekal yang halal akan lahir syarat yang ketiga: istiqamah. Istiqamah artinya komitmen yang total untuk mentaati Allah swt dan tunduk kepada-Nya, bukan saja selama haji, melainkan kapan saja dan di mana saja ia berada. Haji tidak akan bermakna jika sekembalinya dari tanah suci, seorang tidak menyadari identitas kehambaanya kepada Allah swt. Tuntunan syetan kembali diagungkan. Merebut harta haram dan kemaksiatan menjadi kebiasaannya sehari-hari. Bila ini yang terjadi, bisa dipastikan bahwa hajinya tidak mabrur. Karena haji mabrur akan selalu diikuti dengan kebajikan. Pribadi yang istiqamah setelah menjalankan ibadah haji, akan selalu tenang. Tidak plin-plan. Perilakunya jelas tidak berwarna-warni seperti bunglon. Apa yang Allah swt haramkan senantiasa ia hindari, dan apa yang diwajibkan selalu ia tegakkan secara sempurna.
Allah swt mengajarkan bahwa hanya iman dan harta halal yang bisa membuat seseorang selalu istiqamah mentaati-Nya. QS. 2:172, 23:51.
Istiqamah mempertahankan nilai-nilai haji, dan menahan diri dari segala bentuk kemungkaran sekecil apapun.

Seseorang yang naik haji akan di sebut haji mabrur setelah ia nampak bahwa hidupnya lebih istiqamah dan kebajikannya selalu bertambah sampai ia menghadap Allah SWT. Wallahu a’lam bishshawab.
Rosadi



Minggu, 03 Oktober 2010

IDUL ADHA DAN IBADAH QURBAN




dakwatuna.com – Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.
Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:
Pertamaal istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.
Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”
Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”


Keduashidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.
Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”
Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”
Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt. mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail.
Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam kehidupan sehari-hari.


Yang perlu dikritisi dalam hal ini, adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirmanudkhuluu fissilmi kaafaah? Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam? Karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.
Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian.
Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya, mereka kembali berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallahu a’lam bishshawab.